Selamat datang...

selamat datang para pecinta blog, mari belajar membaca dan menulis sebagai upaya memperkaya cakrawala dan membangun kebijaksanaan berargumen serta berpikir.
with love
- puji -

Mengenai Saya

Foto saya
saya menyukai banyak hal, sampai nyaris tidak ada yang tidak saya sukai di dunia ini. Bahkan musuhmu pun bisa jadi promotor yang handal mempromosikan dirimu -- ketika ia mengumbar sesuatu hal tentang anda pada yang lain, camkan, bisa jadi itu bagian dari bentuk cinta manusia dengan cara yg lain dan beda. kegagalan pun tidak akan sia-sia bila kita memandangnya denga mata terbuka dan pikiran serba bijak dalam mengelola 'kejatuhan mental' kita. saya suka filsafat dan ♥ ♥ ♥ "berbuat baik dan memandang dunia dengan cara indah adalah filosofi saya"

Jumat, 04 Juni 2010

Terbang dengan Dua Sayap


Apakah anda seorang perempuan? Saya tanyakan ini pada awal kalimat supaya saya tahu anda melihat dari perspektif siapa. Kalau anda laki-laki bersiaplah untuk sedikit waspada pada tulisan saya.
Perang di tanah Palestina merenggut sekian korban jiwa dengan hitungan kalkulasi jumlah orang yang terluka. Sudah itu saja. Tapi cukupkah takaran kuantitatif itu menunjukkan kerugian atas perang? Secara kualitatif kerusakan atas perang tidak pernah bisa dihitung dengan metode apapun. Perang Dunia I, II, Kerusuhan Aceh GAM, kasus Sampit-Sampang Madura, Perang Vietnam, dan segala jenis pertikaian dengan cara ekspansi bersenjata ke daerah lawan melalui cara kekerasan tidak mengakibatkan hal-hal baik yang kita harapkan. Dan perempuan, menjadi objek yang pertama kali jadi korban. Anda tahu, hukum perang adalah omong besar. Pelarangan penyerangan terhadap warga sipil, anak dan perempuan lebih diutamakan dalam perlindungan. Non Sense! Praksis para tentara militer masih sanggup mejamahkan tangannya pada mereka tanpa ganjaran hukum yang setimpal.
Saya makin geram setelah menonton sebuah film berjudul Turtle can Fly ; pertama saya menonton dalam acara ‘nonton bareng anak filsafat’ bersama retorika dan kedua kali di sebuah kamar teman se-kost-an yang membawa haru biru lebih lama dan sangat dalam. Geram, karena saya mendapati fakta lagi betapa kami (perempuan) didiskriminasi. Sebuah adegan menceritakan seorang anak usia belasan tahun diseret para tentara dan diperkosa bergantian. Seorang anak kecil yang mungkin masih duduk di bangku SD tanpa tahu menahu perihal perang, rezim pemerintahan, tanpa ayah dan ibu, bahkan tidak tahu apa itu penis! Zaman penjajahan Jepang banyak perempuan pribumi dijadikan Jugun Ianfu . Mereka di tempatkan di semacam penjara dan diseret manakala dibutuhkan. Apa para lelaki pernah tersadarkan?
Dampak psikis akibat perang lebih banyak dirasakan anak-anak dan kaum perempuan. Tapi di sini saya lebih mengangkat persoalan perempuan. Ingat, tak ada satupun manusia yang tidak keluar dari perut ibunya . Apa ada yang salah kalo organ fisik kami sedemikian wujudnya disebabkan fungsi kami sebagai ibu yang harus mengandung dan menyusui? Lantas kenapa para lelaki memandang kami begitu rendahnya hingga kami cukup setaraf objek saja – benda mati yang dianggap unik?

Pelecehan psikis kolektif yang kesekian kali saya alami adalah manakala Pak Kadri, Guru SD kelas lima mengatakan bahwa perempuan itu artinya “si punya susu”. Perem = pemilik, puan = susu (buah dada). Saya mengernyitkan dahi. Ada-ada saja guru sableng ini! Saya hanya mendengar beberapa teman sekelas laki-laki terbahak-bahak. Dan lagi kata guru geblek itu, “wanita lebih terdengar seperti kata vagina”. Susu dan vagina, lengkap sudah! Saya dengan usia sebelas tahun mendengar kata-kata najis demikian dari seorang guru SD paruh baya yang masih melajang. Kemudian teman-teman lelaki saya jadi sering memindai tubuh kami para anak perempuan saat pelajaran olah raga (karena kaos kami amat tipis dan panjang celana hanya satu jengkal dari pinggang); dari bawah ke atas, terlebih di bagian dada, mata mereka mencari-cari siapa tahu dari kami ada yang mulai tumbuh kuncup susu! Kalau ada yang berani memindai saya dengan mata jalang begitu lagsung saya lempar penghapus ke kepalanya, biar mampus! Maka hingga kini saya mendapat julukan yang amat special; mbok galak…
Saat itu kami masih kecil untuk mendengar satiran konyol tentang sek, parahnya dari guru kami sendiri. Di benak saya secara otomatis tertanam satu pemahaman, perempuan itu mahluk paling konyol; punya susu dan punya vagina. Beberapa kali saya merasa menjadi anak perempuan itu berarti menjadi calon mahluk yang bakal dikutuk karena secara lecture kami punya beberapa bagian tubuh yang (akan) sering dilecehkan. Saya tidak bisa marah, tapi saya bisa mengingat kata-kata guru goblok itu dan mengata-ngatainya seumur hidup.
Catatan ini bukan untuk menjelaskan sesuatu. Tidak, anda bisa mencari makna perempuan secara etimologis dan boleh mengartikannya sesuai terminologi di benak anda masing-masing. Dan saya tidak akan rigid (baca: rijit) memberi pemaknaan Perempuan yang seharusnya atau yang saya harapkan. Saya tidak akan membawa anda pada pusaran setan pendefinisian.
Dalam waktu duree yang dialami seorang ibu mengandung bayi bisa sama rasa susah-sakitnya seperti puluhan tahun menanggung beban batu yang diikatkan di perut. Aha, bahkan mungkin lebih! Bukan masalah berat jabang bayi sama dengan batu atau bukan untuk mengatakan bahwa perempuan merasa tersiksa atas kodratnya sebagai ibu. Ini hanyalah masalah contoh interpetasi. Tapi pernahkan anda yang para lelaki tersadarkan. Sesuatu yang mungkin dulu anda lecehkan begitu masa anda tua dan menikah anda rasakan sebagai sebuah anugrah maha luar biasa. Bayangkan jika istri anda tak punya dada dan rahim. Saya sering tidak mengerti laki-laki; apakah benar mahluk yang rasionalis dibanding perempuan ataukah mahluk yang delapan puluh persen isi kepalanya hanya ada bayangan fisik perempuan. Atau malah mungkin keduanya sejatinya sama; rasional mengerahkan otak bekerja terlampau keras sehingga beresiko pada korsleting antara neuron dengan simpai bouman sehingga terjadi kesalahan acuan data-data otak – sesekali waktu dengan temps kilat dan amat sangat sering, di sembarang tempat dipacu kerja visual oleh mata, dan jadilah otak mereka berisi pikiran-pikiran ehem …. Tapi perlu disadari itu naluriah.
Saya tidak mengakui saya seorang feminis, karena memang saya bukan. Saya masih mengizinkan seorang lelaki mengangkatkan kopor saya jika memang itu perlu dan baik bagi saya. Dibanding membiarkan seorang lelaki memasakkan hidangan dan menyajikannya untuk saya, saya lebih suka melakukan itu untuknya. Saya akan sangat risih punya kekasih yang lebih pandai memasak dibanding saya. Anda mau tahu kenapa? Bagi seorang perempuan yang ‘dianugrahi’ beberapa kelemahan dibanding laki-laki, saya berpikir, harus ada beberapa hal yang tidak dilakukan mereka – tidak dikuasai mereka, sebagai kontibusi pengganti banyak hal yang bisa mereka lakukan. Saya bersyukur kaum Adam tidak melahirkan dan mempunyai susu meski adanya perbedaan fisik yang nyata inilah faktor utama pelecehan seksual. Saya bersyukur punya gerak-gerik yang lebih lemah lembut dibanding mereka; seumpamanya saya jatuh terpleset di tangga akan banyak yang akan menolong saya dibanding jika seorang lelaki yang jatuh tersungkur.
Emansipasi juga lebih sering diasumsikan legalisasi peran ganda perempuan. Peran ganda sudah pasti menyita banyak tenaga. Akan lebih nyaring buninya jika saya menyebutnya “kesetaraan” perempuan—lelaki. Kita memang setara!
Sebaiknya kita masing-masing saling menghargai satu sama lain, lindungi kami makala kami membutuhkan perlindungan. Beri kenyamanan pada kaum kami. Perang hanyalah semacam romantisme para lelaki yang ingin mendramatisasi kejantannya. Sebelum memutuskan untuk perang masih banyak jalan konsolidasi, abritase, akomodasi, begitu banyak bentuk kompromi yang bisa kita pilih. Kalau para lelaki boleh berpendapat dan didengar sebagai argumentasi sungguhan, jangan anggap suara kami sekedar pelengkap. Apakah suara seorang perempuan yang meneriakkan kebenaran selalu terdengar tabu. Kenapa masih banyak yang menjuluki perempuan yang vocal sebagai seorang perempuan arogan.
Apakah anda seorang parempuan sama seperti saya ataukah seorang lelaki. Kalau anda sama manusia saya pun juga. Jabat tangan kami, ajak kami berjalan bersama di sisi anda. Tolong pastikan kami selalu dalam keadaan baik, terlindung, aman, serta nyaman. Jangan lecehkan kami, bukankah kita saling membutuhkan.



[1] Film yang diambil dari sepenggal kisah nyata tentang perang di Irak sebelum jatuhnya Saddam Husein.

[2] Salah satu UKM Fakultas Filsafat yang memusatkan perhatian pada sastra, film, fotografi, dan secara garis besar hal-hal yang berbau budaya.

[3] Nama ala jepang untuk memanggil pelacur paksaan warga pribumi.

[4] Tentu saja kecuali Adam dan Hawa, yang tidak memilki orangtua

[5] Duree ini seharusnya ditulis dengan huruf ‘e’ pertama yang di atasnya diberi umlaud. Keberlangsungan yang bersifat kualitatif, dialami secara subjektif-psikologis. Merupakan buah pikiran metode intuitif Henri Bergson.

[6] Faktanya berat bayi yang baru lahir rata0rata sekitar 2 sampai 4 kilogram.

[7] Ukuran waktu kuantitaif yang bersifat numeric-kronologis.

[8] Anda tahu maksud saya mau bilang “pikirang mesum” tapi saya agak sungkan menggunakan kata-kata diskriminatif terhadap para lelaki, karena saya sebagai perempuan juga tidak mau diperlakukan demikian.



2 komentar: