Selamat datang...

selamat datang para pecinta blog, mari belajar membaca dan menulis sebagai upaya memperkaya cakrawala dan membangun kebijaksanaan berargumen serta berpikir.
with love
- puji -

Mengenai Saya

Foto saya
saya menyukai banyak hal, sampai nyaris tidak ada yang tidak saya sukai di dunia ini. Bahkan musuhmu pun bisa jadi promotor yang handal mempromosikan dirimu -- ketika ia mengumbar sesuatu hal tentang anda pada yang lain, camkan, bisa jadi itu bagian dari bentuk cinta manusia dengan cara yg lain dan beda. kegagalan pun tidak akan sia-sia bila kita memandangnya denga mata terbuka dan pikiran serba bijak dalam mengelola 'kejatuhan mental' kita. saya suka filsafat dan ♥ ♥ ♥ "berbuat baik dan memandang dunia dengan cara indah adalah filosofi saya"

Senin, 20 Desember 2010

catatan istimewa dua kota cantik; Surakarta dan Yogyakarta

Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dua kerajaan pecahan Mataram yakni Surakarta dan Yogyakarta menyatakan mendukung dan bersedia bergabung dengan NKRI. Kebanyakan orang awam hanya tahu dua Derah istimewa di Indonesia; Aceh dan Yogyakarta. Padahal jauh sebelum Aceh dinobatkan sebagai Derah Istimewa, hanya Surakarta dan Yogyakarta saja waktu yang mempunyai otonomi khusus.
Pertama kali, Surakarta pada tanggal 1 September 1945, Paku Buwono XII menyatakan bergabung dengan NKRI. Disusul Yogyakarta dengan maklumat Hamengkubuwono IX pada 5 September. Kedua bekas kerajaan Mataram ini diterima baik oleh Soekarno saat itu mengingat TIGA SYARAT PENTING menjadi daerah Istimewa yakni; historis, yuridis, dan budaya….


Surakarta, di bawah Pengageng sasono Wilopo Keraton Surakarta PB XIII Hangabehi GKR Wandasari telah berupaya berkali-kali mengupayakan kembalinya Keistimewaan Daerah Surakarta. Sepertinya Pemerintah Pusat tidak terlalu peduli dengan hal ini, kalau memang upaya pengembalian Keistimewaan Surakarta ini tinggal pengujian materi Mahkamah Konstitusi, kenapa hingga detik ini tidak pernah ada kabar sama sekali?
Surakarta pernah menjadi Daerah Istimewa, malah karisidenan yang pertamakali me-maklumatkan diri dan di sahkan oleh NKRI. Meski keistimewaan Surakarta (DIS=daerah Istimewa Surakarta) tidak berumur panjang karena Revolusi Sosial yang didalangi Tan Malaka udengan kedok penentangan terhadap feodalisme!
Kita tahu persis, bagi warga Surakarta yang lama tinggal atau penduduk asli Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Klaten adalah bagian dari Eks Karisedenan Surakarta. Cah Solo terbiasa denga istilah Eks Karesidenan Surakarta untuk beberapa wilayah bekas Kerajaan Surakarta.

Saya ingat sekali ketika duduk di bangku SMP (saat itu sedang mengikuti lomba menulis cerita pendek) se- Eks karesidenan Surakarta, saya berkumpul dengan teman-teman dari Boyolali, Sragen, Klaten, dan Sukoharjo. Bahkan Teman saya dari wonogiri mengakui dirinya dengan lantang bahwa dirinya cah Solo. Kami saling bercerita banyak hal tentang daerah asal kami masing-masing, namun tak banyak yang tahu histori Kerajaan Surakarta. Sampai sekarang saya selalu kepayahan kalau ada orang bertanya apa beda Surakarta dan Yogyakarta, padahal orang yang bertanya pada saya itu orang yang mengaku dirinya orang Solo.
Saya terbiasa menjelaskan panjang lebar dari perjanjian Giyanti, yang saya sebut perpanjangan tangan dari politik adu domba Belanda untuk memecah kerajaan Besar Jawa saat itu. Pertama yang harus kita ketahui, di bawah Sultan Agung, seorang Raja Mataram tangguh, Raja Jawa mampu membuat Belanda (VOC) tersudut dan tunduk di Batavia. Maka Belanda dengan licik menunggu kesempatan tiba untuk menghancurkan satu-satunya Kerajaan terkuat di Jawa saat itu perlahan-lahan.
Soehario dalam Purwadi; Paku Buwono II, kedaulatan Mataram (Surakarta) pada waktu it uterus saja dikurangioleh penjajah Belanda. Belanda selalu berusaha memasukkan pengaruhnya melalui Perjanjian, terutama dalam bidangpemerintahan – selalu dengan dalih kepentingan Kemantapan pemerintahan dan peningkatan masyarakat. Dalam hal ini PB II terpaksa menaati karena ada kekhawatiran terhadap hilangnya tahta bagi putra mahkotanya. Maka Pangeran mangkubumi, Raden Said, dan pangeran samber Nyawa memulai pemberontakannya. (Purwadi. 2003: 62 –63)
Perbedaan mendasar dari Yogyakarta dan Surakarta terletak pada dikotomi; siapa memihak Belandan dan Siapa yang tidak. Surakarta ada di pihak Belanda waktu itu. Konon, dari sebuah pertanyaan saya kepada simbah yang menjadi langganan saya belanja di pasar Gedhe, waktu itu (pasca perjanjian Giyanti) belum ada anggapan bahwa Kraton Surakarta memihak pada Belanda. Kedua Kerajaan ini sebenarnya pisah karena perebutan kekuasaan. Babad Giyanti karangan Yasadipura menyebutkan, pembagian Jawa pecah sesudah Keraton dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta karena perselisihan dengan warga Tionghoa. (pastikan dengan cermat, Karta+Sura ke Sura+Karta. Nama Surakarta sendiri sebenarnya hanya pembalikan kata dari Kartasura yg dulunya bekas kerajaan Pajang yang dikalahkan oleh Sutawijaya). Pangeran Mangkubumi marah, karena dengan pemindahan keraton sama artinya ia kehilangan banyak sekali tanah bengkok. Ia dibantu Pangeran Samber Nyawa (Mangkunegara I) berusaha memberontak Paku Buwono.
Mangkubumi berhasil menaklukan daerah Barat kali Opak (kali yang melintasi Prambanan), ia nyaris mendapatkan separuh kekuasaan atas bantuan Pangeran samber Nyawa. Setelah keduanya hendak membagi kekuasaan, rakyat di daerah barat mataram waktu itu lebih memilih Pangeran Samber Nyawa sebagai Penguasa utama. Karena tidak terima, Mangkubumi kemudian melawan Pangeran Samber Nyawa. Pengkhianatan kedua kali ia meminta Semarang memberinya separuh kekuasaan Mataram (yang ada di wilayah Semarang) dan berjanji setia dan tunduk kepada Belanda serta bersedia membantu Surakarta dan Belanda melenyapkan nyawa Samber Nyawa. Ini semacam “tikam balik” yang dilakukan Mangkubumi karena merasa sia-sia memberontak tanpa hasil sepetak tanah Kerajaan sedikitpun karena kalah suara dengan Samber Nyawa. Mangkubumi bahkan tidak segan member ikatan perjanjian dengan menyerahkan istrinya Raden Ayu Retnosari dari Sukowati. Kemudian mangkubumi berhasil menjadi Raja sendiri; Sultan Hamengkubuwana I.

Beberapa catatan dari Ahmad Norma, yang menghimpun data dari H. Karkono Partokusumo, Dr. Simuh dan Dr. Damardjati Supadjar, serta Mbah Sewo Tanujoyo, dalam bukunya Zaman Edan Ronggowarsito (1988: 157 – 160) menjelaskan bahwa dalam perkembangannya Surakarta maupun Yogyakarta bekerjasama dalam perang Diponegoro untuk melawan Belanda.
“Pertempuran antara Pemerintah Belanda danpasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di Yogyakarta, melainkan juga sampai meluas ke Surakarta. Karena secara personal kedua kerajaan ini masih satu keluarga, sehingga persoalan yang sedemikian tentu melibatkan kedua belah pihak. Di Surakarta, perjuangan Diponegoro mendapat dukungan cukup kuat, termasuk dari kalangan dalam Istana.”
Beberapa kali PB VI menemui Diponegoro maupun Sentot prawirodirjo dengan alasan semedi di Merapi. Meraka bertemu untuk merundingkan strategi. Pernah suatu ketika bertemu dan tercium oleh mata-mata Belanda, sehingga terpaksa Diponegoro melarikan diri, sementara Keretany ditanam di dalam Istana Surakarta untuk disembunyikan dari Belanda.

Surakarta, dalam pandangan bayak orang adalah representasi dari kelemahlembutan, sumarah, ketenangan, dan kehati-hatian yang luar biasa. Dulu ini menjadi bahan ejekan antara Yogyakarta kepada Surakarta; alon-alon waton kelakon ‘dan tidak pernah kelakon’. Harus diakui, Yogyakarta unggul dalam ketatanegaraan dan politik, karena konsen saat itu Yogyakarta tengah bersengketa tegas dengan Belanda. Sementara Surakarta lebih unggul di bidang-bidang sastra (lihat saja, sebagian besar karya-karya sastra jawa dikarang oleh pujangga Surakarta dan Mangkunegaran), tarian, dan secara luas seni klasik hingga Wayang. Latar belakang keterkekangan Surakarta di bawah Belanda inilah yang mendorong PB dan Mangkunegara melibatkan diri pada sastra dan seni.


Saya ingin menjelaskan lebih banyak lagi tentang Surakarta, ada rasa keprihatinan saya atas apa yang terjadi saat ini. Kita buta akan sejarah dan asal-usul tempat kita lahir/dewasa. Saya akui, saya bukanlah orang Solo asli. Saya lahir di Surabaya dari Bapak (berketurunan Belanda-Jawa) dan Ibu (berketurunan Jawa-Cina, beberapa saudara eyang saya adalah Cina peranakan yang tinggal di pasar Gedhe). Namun kecintaan saya pada Surakarta kiranya tidak akan mempertimbangkan darimana saya berasal, bukan. Saya besar di Surakarta, dua per tiga hidup saya, saya jalani di kota kecil ini. Saya pun mencintai Yogyakarta tidak kurang darinya karena saya memiliki hubungan psikis dengan warga Yogyakarta selama saya menimba Ilmu di UGM.
Kiranya catatan kecil ini mampu menambahkan sedikit pemahaman tentang Surakarta. Saya melampirkan beberapa sumber yang dapat dikroscek untuk kemudian dijadikan kritik atau saran. Terimakasih.



Zaman Edan Ronggowarsito. 1988. Ahmad Norma (penyunting).
Sosiologi Mistik R.NG. RonggoWarsito. 2003 (Yogyakarta: Persada).
http://id.wikipedia.org/wiki/Babad_Giyanti
http://www.harianjoglosemar.com/berita/keraton-bahas-daerah-istimewa-23781.html
http://bppsdis.wordpress.com/2010/01/04/dpd-bongkar-ulang-ruuk-dij/




catatan ini saya publish di note FB saya; http://www.facebook.com/peepoe?success=1#!/note.php?note_id=467167989079

Tidak ada komentar:

Posting Komentar